HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN, SUDAHKAH BERJALAN EFEKTIF?


HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN, SUDAHKAH BERJALAN EFEKTIF?


Indonesia memiliki peluang pasar yang besar di kawasan Asia Pasifik. Selain letaknya yang strategis, jumlah penduduk negara kita juga termasuk salah satu yang terbanyak yaitu lebih dari 250 juta jiwa. Di era globalisasi ini, arus barang dari suatu negara ke negara lain semakin deras. Keterbukaan dan kesepahaman yang dimiliki telah menghasilkan kesepakatan bersama untuk memperlonggar aturan-aturan terkait ekspor-impor. Misalnya perjanjian Perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) antar negara ASEAN (ASEAN-FTA), ASEAN-China FTA, ASEAN-Korea FTA, ASEAN-India FTA, Bilateral antara Indonesia dengan Jepang, dan yang tengah diratifikasi yakni ASEAN-New Zealand-Australia.
Dari sisi produsen, hal ini merupakan peluang untuk menambah pasar baru di negara lain sedangkan dari sisi konsumen keterbukaan pasar ini memiliki dua dampak yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya adalah konsumen memiliki banyak pilihan dalam membeli suatu produk, selain itu persaingan yang ketat akan mendorong produsen untuk berlomba-lomba menghasilkan produk yang berkualitas sehingga pada akhirnya akan menguntungkan konsumen. Dampak negatif yang dapat timbul adalah munculnya produsen-produsen nakal yang memanfaatkan banyaknya jumlah barang yang beredar di masyarakat. Lantas apa yang dimaksud dengan produsen nakal ini? Dalam beberapa kasus, produsen hanya memproduksi dan menyalurkan barang dengan harga yang murah namun tanpa diikuti oleh kualitas minimum di pasar. Sebagai contoh adalah barang-barang yang dijual di beberapa terminal oleh pedagang asongan (pulpen, obeng, peralatan cukur, dan barang lainnya). Pada akhirnya setelah konsumen membeli dan menggunakan alat tersebut, rasa kecewa akan muncul karena barang tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Di tingkat nasional, barang impor yang membanjiri Indonesia banyak diikuti dengan beragam masalah. Kebanyakan barang impor yang masuk tersebut ilegal dan membahayakan. Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hingga triwulan ketiga tahun 2011 terjadi 25 kasus pelanggaran terhadap produk pangan mulai dari tak berijin, tidak berlogo SNI, tidak berbahasa Indonesia, sampai tak berlabel halal. Kasus lainnya yang lebih umum dan banyak dialami oleh konsumen adalah tertipu oleh barang dalam kemasan tertutup (BDKT). BDKT memang rentan dalam membuat konsumen kecewa dan bentuk kekecewaan tersebut disebabkan oleh beragam alasan mulai dari isi produk yang tidak sesuai dengan kemasan (kemasan besar namun isinya sedikit), produk sudah tidak layak makan (akibat pelaku usaha tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa), salah membeli barang (akibat tidak dicantumkannya informasi produk secara lengkap), hingga kasus yang beberapa waktu meresahkan masyarakat khususnya kalangan ibu-ibu di Indonesia terkait produk susu formula yang tercemar bakteri E. Sakazakii.
Terkait masalah tersebut di atas, konsumen sebenarnya dapat meminta perlindungan kepada pemerintah. Beberapa aturan yang mendasari antara lain:
·    Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33.
·     Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
·   Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
·     Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
·   Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
·   Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
·    Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 sendiri merupakan salah satu wujud nyata pemerintah untuk memberikan kepastian hukum terhadap berbagai kasus konflik yang terjadi antara pihak pelaku usaha dengan konsumen. Undang-Undang ini juga merupakan sarana untuk meningkatkan tingkat kesadaran masayarakat akan haknya yang masih rendah. 
Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan kosumen mengatur tentang hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen, hal-hal yang dilarang bagi pelaku usaha, pengenaan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha, pengawasan dan lembaga-lembaga yang terlibat dalam upaya perlindungan konsumen, hingga penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan pihak konsumen.
Kelebihan yang dimiliki oleh Undang-Undang ini adalah meningkatkan posisi tawar konsumen yang sebelumnya selalu berada di posisi lemah jika berhadapan dengan pelaku usaha. Misalnya, dalam salah satu pasalnya yaitu pasal 22 pihak konsumen yang merasa telah dirugikan boleh menggugat pelaku usaha dan pihak yang dibebankan untuk membuktikan ada atau tidaknya kesalahan adalah pelaku usaha. Selain itu Undang-Undang ini mempertegas bagi pihak pelaku usaha agar mereka dapat menjalankan usahanya secara baik dan memenuhi kepuasan masyarakat sebagai pihak konsumen sekaligus sumber pendapatan mereka. Mulai banyaknya lembaga-lembaga pengawas perlindungan konsumen pemerintah maupun independen di daerah-daerah turut membantu menciptakan iklim usaha yang kondusif karena setiap pelanggaran oleh pelaku usaha dapat dilaporkan dan segera ditindaklanjuti.
Kekurangan dari Undang-Undang ini adalah sosialisasi kepada masyarakat yang tidak berjalan maksimal sehingga sebagai konsumen masih banyak diantara mereka yang sebenarnya memiliki hak untuk menggugat namun tidak mereka gunakan karena alasan ketidaktahuan. Akibat hal ini pelaku usaha merasa tenang-tenang saja meskipun sebenarnya mereka melakukan pelanggaran. Kelemahan selanjutnya adalah jika Undang-Undang ini diterapkan secara penuh maka di satu sisi akan menguntungkan konsumen, namun di sisi lainnya akan banyak pelaku usaha (terutama pengusaha kecil menengah) yang harus gulung tikar karena terjerat sanksi pelanggaran. Hal ini juga dikarenakan tidak semua pelaku usaha mengetahui aturan dalam Undang-Undang ini dan iklim usaha di masyarakat kita saat ini masih belum kondusif untuk penerapan penuh. Contoh paling mudah dan sering kita temui adalah proses jual beli dengan tawar menawar (dimana informasi harga tidak transparan) yang dapat merugikan konsumen.  
Salah satu bentuk lemahnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga perlindungan konsumen adalah kasus yang menimpa prita. Akibat tidak tahu bagaimana mengadukan haknya atas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit Omni, prita terpaksa hanya bisa “curhat” melalui media elektronik yang akhirnya tersebar luas di masyarakat. Pihak rumah sakit yang mengetahui tindakan tersebut malah menuntut prita karena dianggap mencemarkan nama baik. Pertarungan yang tidak seimbang pun terjadi antara prita dengan pihak rumah sakit Omni. Namun berkat dukungan moril dan materil dari masyarakat yang mendukung prita, kasus ini pun mendapat perhatian dari pemerintah dan keadilan pun dapat ditegakkan karena Prita Mulyasari divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang pada 29 Desember 2009 lalu. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum perlindungan konsumen belum berjalan efektif dan memerlukan banyak pembenahan ke depannya.

Comments

Popular posts from this blog

Info Rekrutmen Admin Kantor Jasa Akuntan

The Beauty of Flower

Antara mimpi, kreatifitas dan takdir